VISI BKM ANUNTODEA

"MEWUJUDKAN MASYARAKAT SEJAHTERA YANG MANDIRI DENGAN PENATAAN LINGKUNGAN YANG SEHAT DAN ASRI"



DOKUMEN RPLP



 KATA PENGANTAR


Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT karena atas Rahmat, Hikmah, dan Hidayahnya sehingga dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP) pada Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP‐BK) Kelurahan Donggala Kodi, Kecamatan Palu Barat Kota Palu ini bisa diselesaikan dengan baik.

Dokumen RPLP Kelurahan Donggala Kodi dimaksudkan untuk mengarahkan jalannya pembangunan sejak dini, mengendalikan pertumbuhan dan perubahan fisik lingkungan, mewujudkan pemanfaatan ruang secara efektif, tepat guna dan spesifik setempat yang berbasis masyarakat. Selain itu menjadi masukan teknis pada Pemerintah dalam mengarahkan peran serta seluruh pelaku pembangunan (pemerintah, swasta, masyarakat lokal, investor) dalam mewujudkan penataan lingkungan sesuai yang dikehendaki khususnya di kota Palu.

Kelurahan Donggala Kodi sebagai salah satu kelurahan yang mendapatkan Program Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP‐BK) memiliki potensi untuk dapat dikembangkan menjadi salah satu kawasan pengembangan ekonomi dan pendukung wisata yang mempunyai pengaruh dalam peningkatan taraf hidup masyrakat Donggala Kodi khususnya dan kota Palu pada Umumnya sesuai Visi Kelurahan Donggala Kodi menjadi “Kawasan yang Sejahtera, Berkualitas dan Berjati Diri”.

Dalam penyusunan dokumen RPLP ini. Tim Penyusun; TIPP, POKJA,TAPP, Fasilitator, dan Tim Relawan yang telah bekerjasama dan mendapatkan masukan dari berbagai pihak yang berkompeten demi kebaikan Dokumen ini, untuk itu Tim Penyusun menyampaikan terimakasih yang sebesarbesarnya.

Akhir kata, semoga dokumen ini dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.

Wasalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh!

Palu, Januari 2011





 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP‐BK) bertujuan untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis dengan lingkungan hunian yang sehat, tertib, selaras, berjati diri dan lestari. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat dan dukungan dari Pemerintah dan pihak lainnya di sekitar lingkungan tersebut.
Undang‐Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) mengamanatkan: (1) Bab IV: setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung; Persyaratan administratif meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan bangunan. Substansi penting dalam UUBG ini diantaranya mengenai persyaratan administratif yang memberikan kepastian hukum bagi pemilik bangunan melalui bukti kepemilikan bangunan gedung yang diperoleh melalui proses pendataan dan pendaftaran bangunan gedung serta proses perizinan mendirikan bangunan; (3) Persyaratan teknis meliputi persyaratan tata bangunan [Pasal 9 ayat (3)]dan persyaratan keandalan bangunan gedung.

Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan. Persyaratan tata bangunan akan ditetapkan lebih lanjut dalam Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).
Sedangkan persyaratan keandalan bangunan gedung meliputi persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.

Dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP), secara substansi sama dengan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan bagian dari Rencana Pengembangan Permukiman (RPP) yang secara substansi mengatur kawasan‐kawasan dalam bentuk rencana detail.
Dari kawasan‐kawasan yang teridentifikasi dalam RPP, maka terpilih satu kawasan prioritas yang disusun RTBL‐nya berdasarkan kesepakatan warga dengan meninjau berbagai kriteria permasalahan dan potensi pengembangan dengan mengacu pada rambu‐rambu PLP‐BK. Sedangkan aturan bersama adalah aturan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan nantinya.
Pada pembangunan lingkungan, terutama terhadap sarananya, proses perancangan tiap elemen fisiknya dilakukan oleh berbagai pihak khususnya oleh pihak pemilik (perorangan maupun lembaga) sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing‐masing. Keragaman pihak yang terlibat sebagai pelaku
pembangunan menghasilkan keragaman wujud fisik yang terjadi. Untuk memperoleh kualitas lingkungan sesuai dengan yang dikehendaki, umumnya dilakukan melalui pendekatan rancang kawasan yang dalam konteks perkotaan dikenal sebagai rancang kota (urban design). Dalam PLPBK, penyusunan RTBL pada kawasan prioritas diharapkan mampu mengendalikan pembangunan di kawasan tersebut agar sesuai dengan aturan tata bangunan dan lingkungan yang telah disepakati bersama oleh masyarakat dalam lingkungan itu sendiri.
Dokumen RTBL dalam suatu kawasan memiliki nilai penting yang antara lain juga telah ditegaskan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Perlunya penyusunan dokumen RTBL adalah :
�� Fenomena pertumbuhan kawasan yang cepat, tidak terarah dan tidak terkendali yang mendorong ke arah keseragaman wajah/rupa kota.
�� Timbulnya keinginan untuk mempertahankan keunggulan spesifik suatu kawasan sebagai kawasan beridentitas dan berjati diri.
�� Kebutuhan integrasi atas berbagai konflik kepentingan dalam penataan antar bangunan, bangunan dengan lingkungannya, bangunan dan prasarana kota, lingkungan dengan konteks regfional/kota, bangunan dan lingkungan dengan aktifitas publik, lingkungan dengan pemangku kepentingan.
�� Kebutuhan tindak lanjut atas rencana tata ruang yang ada sekaligus manifestasi atas pemanfaatan ruang.Kebutuhan alternatif perangkat pengendali yang mampu dilaksanakan langsung di lapangan.

PLP‐BK menjadikan pembangunan lingkungan permukiman padat yang memiliki kawasan lingkungan yang tidak terarah dan tidak terkendali sebagai prioritas utama dalam pengembangan RTBL. Dengan tersusunnya RTBL kawasan prioritas tersebut diharapkan dapat mengarahkan jalannya pembangunan sejak dini, mengendalikan pertumbuhan dan perubahan fisik lingkungan kawasan , mewujudkan pemanfaatan ruang secara efektif, tepat guna dan sesuai dengan spesifik setempat pembangunan lingkungan di sekitar kawasan
Kelurahan Donggala Kodi sebagai salah satu lokasi PLP‐BK di Sulawesi Tengah telah melaksanakan berbagai proses, mulai tahap persiapan hingga tahap perencanaan partisipatif. Dalam tahap perencanaan partisipatif PLP‐BK diharapkan mampu menghasilkan 3 (tiga) dokumen perencanaan yaitu, dokumen Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP), dokumen Rencana Tindak Penataan Lingkungan Permukiman (RTPLP) serta dokumen Aturan Bersama.

1.2. Maksud dan Tujuan
Melalui program Pembangunan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP‐BK) di Kelurahan Donggala Kodi yang menghasilkan suatu dokumen Rencana Pengembangan Lingkungan Permukiman (RPLP) / Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan di Kelurahan Donggala Kodi dalam jangka waktu 5 tahun ke depan.

1.2.1. Maksud
Dokumen RPLP Kelurahan Donggala Kodi dimaksudkan untuk mengarahkan jalannya pembangunan sejak dini, mengendalikan pertumbuhan dan perubahan fisik lingkungan kawasan prioritas, mewujudkan pemanfaatan ruang secara efektif, tepat guna dan spesifik setempat. Selain itu menjadi masukan teknis pada Pemerintah dalam mengarahkan peran serta seluruh pelaku pembangunan (pemerintah, swasta, masyarakat lokal, investor dalam mewujudkan lingkungan yang dikehendaki) khususnya di kota Palu.

1.2.2. Tujuan
RPLP bertujuan untuk mengendalikan elemen rancang bangunan secara komprehensif yang menyangkut peruntukan lahan, tata bangunan, ruang terbuka hijau, kualitas lingkungan, prasarana dan utilitas, serta preservasikonservasi, sehingga tercipta kawasan yang memiliki nilai ekonomis, estetis, dan memiliki tingkat kenyamanan hunian dan aktifitas yang lebih baik, tanpa melupakan karakter dan nilai lokalitas yang terkandung. RPLP di kelurahan Donggala Kodi sebagai bagian dari upaya penataan fungsi dan fisik kawasan, bersama masyarakat dan semua stakeholder, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal dengan memperhatikan keserasian dengan alam sekitarnya. Selain juga menyusun program investasi pembangunan sebagai acuan implementasi dari rencana dan rancangan yang telah disusun, dengan menyertakan masyarakat sekitar sebagai bagian integral dari upaya pembangunan di lingkungan/Kawasan di kelurahan Donggala Kodi.

1.3. Sasaran dan Lingkup Perencanaan
1.3.1. Sasaran
Sasaran Penyusunan dokumen RPLP Kelurahan Donggala Kodi adalah:
a. Tersusunnya RTPLP/ RTBL Kawasan prioritas sebagai bagian dari upaya penataan fungsi dan fisik kawasan, bersama masyarakat dan semua stakeholder, sesuai dengan kebutuhan dan kondisilokal dengan memperhatikan keserasian dengan alam sekitarnya.
b. Tersusunnya program investasi pembangunan Kawasan yang telah disetujui semua pihak terkait sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pemukiman dengan menyertakan masyarakat sebagai bagian integral dari upaya pembangunan di lingkungan/ Kawasan di kelurahan Donggala Kodi.

1.3.2. Lingkup Perencanaan
Lingkup pekerjaan dan tahapan yang dilakukan dalam penyusunan dokumen RTPLP/RTBL kelurahan Donggala Kodi, berpatokan pada tercapainya: (1) maksud; (2) tujuan; (3) sasaran; dan (4) manfaat penyusunan. Alur penyusunan dokumen RTPLP/ kelurahan Donggala kodi meliputi: (1) Tahap Persiapan berupa Coaching dan Bimbingan Teknis pelaksanaan Pemetaan Swadaya; (2) Tahap Pengumpulan data berupa Pemetaan Swadaya / transek bersama masyarakat; (3) FGD hasil pelaksanaan Pemetaan Swadaya; (4) Analisis Potensi dan Masalah; (5) tahap perencanaan /pengembangan lingkungan permukiman ;(6) menyusun panduan pengendalian serta aturan bersama; (7) dan pengembangan rencana investasi. Seluruh rangkaian pelaksanaan kegiatan penyusunan RTBLmelibatkan peran serta masyarakat.

1.4. Dasar Hukum
Dalam penyusunan dokumen RPLP / RTBL kelurahan Donggala Kodi, didasari oleh beberapa landasan hukum yang mengatur tentang penyusunan RTBL yaitu:
• Undang – Undang RI No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
• Undang – Undang RI No. 4 tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman;
• Undang – Undang RI No. 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya;
• Undang – Undang RI No. 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup;
• Undang – Undang RI No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
• Undang – Undang RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
• Undang – Undang RI No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
• Undang‐undang RI No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
• Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1993 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undangundang Nomor 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung;
• Peraturan Menteri PU Nomor 29/PRT/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung;
• Peraturan Menteri PU Nomor 30/PRT/M/2006 tentang PersyaratanTeknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan;
• Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan;
• SNI 03‐1733‐2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan;
• Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu
• Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Palu Barat

1.5. Sistematika Dokumen
Bab 1 Pendahuluan
Berisikan latar belakang, maksud dan tujuan perencanaan, ruang lingkup dan sasaran perencanaan, dasar hukum yang mengatur dan sistematika dokumen.
Bab 2 Tinjauan /Review Kebijakan Penataan Ruang Kota Palu
Menyajikan review tentang kebijakan tata ruang yang menyangkut beberapa kebijakan terkait; kependudukan, Rencana pemanfaatan ruang, Arahan struktur ruang, Guna Lahan, Intensitas Pemanfaatan, sistem transportasi, dan Tata Bangunan dan Lingkungan.
Bab 3 Kondisi Eksisting Kawasan Perencanaan
Menyajikan gambaran umum kondisi eksisting meliputi kondisi sosial budaya, kondisi kegiatan ekonomi serta kondisi fisik dan lingkungan.
Bab 4 Analisis Potensi dan Masalah Kawasan Perencanaan
Berisikan tentang analisis potensi dan permasalahan yang di lokasi / kawasan perencanaan terkait masalah; bangunan dan lingkungan, peruntukan lahan, sarana dan prasana, air bersih dan sistem drainase, kegiatan pengembagan ekonomi, kelembagaan dan layanan publik.
Bab 5 Rencana Pengembangan Permukiman dan Aturan Bersama
Berisikan tentang rencana pengembangan terkait masalah ; bangunan dan lingkungan, peruntukan lahan, sarana dan prasana, air bersih dan sistem drainase, penanganan bencana kegiatan pengembagan ekonomi, kelembagaan dan layanan publik.

1.6. Tinjauan Teoritis
1.6.1. Pengertian, Kedudukan RPLP / RPLP
Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) adalah panduan rancang bangun suatulingkungan/kawasan yang dimaksudkan untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, penataan bangunan dan lingkungan, serta memuat materi pokok ketentuan program bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan, rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman pengendalian pelaksanaan pengembangan lingkungan/ kawasan.
Dalam pelaksanaannya, sesuai kompleksitas permasalahan kawasannya, RTBL juga dapat berupa:
1. Rencana Aksi/kegiatan Komunitas (community‐action plan/CAP),
2. Rencana Penataan Lingkungan (neighbourhood‐development plan/NDP),
3. Panduan rancang kota (urban‐design guidelines/UDGL).
4. Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP)

Seluruh rencana, rancangan, aturan, dan mekanisme dalam penyusunan Dokumen RTBL harus merujuk pada pranata pembangunan yang lebih tinggi, baik pada lingkup kawasan, kota, maupun wilayah.
Dalam pelaksanaannya, terkait dengan Undang‐Undang 26 tahun 2007 tentang penataan ruang yang mencantumkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan kawasan hingga program perecanaan dimuat dalam Program Pengembangan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLP‐BK) bertujuan untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat yang harmonis dengan
lingkungan hunian yang sehat, tertib, selaras, berjati diri dan lestari. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan partisipasi aktif masyarakat dan dukungan dari Pemerintah dan pihak lainnya di sekitar
lingkungan tersebut.
Kedudukan RTBL dalam pengendalian bangunan gedung dan lingkungan sebagaimanadigambarkan pada Gambar 1.1.

Lingkup kawasan pada penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) mencakup suatu lingkungan/kawasan dengan luas 5‐60 hektar (Ha), dengan ketentuan sebagai berikut:
• Kota metropolitan dengan luasan minimal 5 Ha.
• Kota besar/sedang dengan luasan 15‐60 Ha.
• Kota kecil/desa dengan luasan 30‐60 Ha.
Penentuan batas dan luasan kawasan perencanaan (delineasi) berdasarkan satu atau kombinasi butir‐butir di bawah ini:
a. Administratif, seperti wilayah RT, RW, kelurahan, kecamatan, dan bagian wilayah kota/desa.
b. Non administratif, yang ditentukan secara kultural tradisional (traditional cultural‐spatial units), seperti desa adat, gampong, dan nagari.
c. Kawasan yang memiliki kesatuan karakter tematis, seperti kawasan kota lama, lingkungan sentra perindustrian rakyat, kawasan sentra pendidikan,dan kawasan permukiman tradisional.
d. Kawasan yang memiliki sifat campuran, seperti kawasan campuran antara fungsi hunian, fungsi usaha, fungsi sosial‐budaya dan/atau keagamaan serta fungsi khusus, kawasan sentra niaga (central business district), industri, dan kawasan bersejarah.
e. Jenis kawasan, seperti kawasan baru yang berkembang cepat, kawasan terbangun yang memerlukan penataan, kawasan dilestarikan, kawasan rawan bencana, dan kawasan gabungan atau campuran.

Dokumen Rencana Rencana Penataan Lingkungan Permukiman (RPLP), secara substansi sama dengan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) merupakan bagian dari Rencana Pengembangan Permukiman (RPP) yang secara substansi mengatur kawasan‐kawasan dalam bentuk rencana detail. Dari kawasan‐kawasan yang teridentifikasi dalam RPP, maka terpilih satu kawasan prioritas yang disusun RTBL‐nya berdasarkan kesepakatan warga dengan meninjau berbagai kriteria permasalahan dan potensi pengembangan dengan mengacu pada rambu‐rambu PLP‐BK. Sedangkan aturan bersama adalah aturan yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan pembangunan lingkungan nantinya
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang‐undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung pasal 27 ayat (2), struktur dan sistematika dokumen RTBL sebagaimana digambarkan pada skema berikut:


1.6.2. Landasan Teoritis
Penataan bangunan dan lingkungan merupakan kegiatan pembangunan untuk merencanakan, melaksanakan, memperbaiki, mengembangkan atau melestarikan bangunan dan lingkungan/ kawasan tertentu sesuai dengan prinsip pemanfaatan ruang dan pengendalian bangunan gedung dan lingkungan secara optimal, yang terdiri atas proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung dan lingkungan. Penataan Bangunan dan Lingkungan yang dituangkan dalam dokumen RTBL merupakan hasil proses identifikasi, perencanaan dan perancangan suatu lingkungan/ kawasan, termasuk didalamnya adalah identifikasi dan apresiasi konteks lingkungan, program peran masyarakat dan pengelolaan serta pemanfaatan aset properti kawasan.

1. Tata Guna Lahan
Merupakan komponen rancang kawasan yang berperan penting dalam alokasi penggunaan dan penguasaan lahan/tata guna lahan yang telah ditetapkan dalam suatu kawasan perencanaan tertentu berdasarkan ketentuandalam rencana tata ruang wilayah.

Manfaat:
Meningkatkan keseimbangan kualitas kehidupan lingkungan dengan membentuk ruangruang kota/ lingkungan yang hidup secara fisik (vibrant) dan ekonomi (viable), layak huni dan seimbang, serta meningkatkan kualitas hidup pengguna dan kualitas lingkungan; mengoptimalkan alokasi penggunaan dan penguasaan lahan baik secara makro maupun mikro; mengalokasikan fungsi/kegiatan pendukung bagi jenis peruntukan yang ada; menciptakan integrasi aktivitas ruang sosial (socio‐spatial integration) antarpenggunanya; menciptakan keragaman lingkungan (diversity) dan keseimbangan yang akan mendorong terciptanya kegiatan‐kegiatan yang berbeda namun produktif; mengoptimalkan prediksi/projeksi kepadatan lingkungan dan interaksi sosial yangdirencanakan.

Komponen Penataan
Peruntukan Lahan Makro, yaitu rencana alokasi penggunaan dan pemanfaatan lahan pada suatu wilayah tertentu yang juga disebut dengan tata guna lahan. Peruntukan ini bersifat mutlak karena telah diatur pada ketentuan dalam rencana tata ruang wilayah. Peruntukan Lahan Mikro, yaitu peruntukan lahan yang ditetapkan pada skala keruangan yang lebih rinci (termasuk secara vertikal) berdasarkan prinsip keragaman yang seimbang dan saling menentukan. Hal‐hal yang diatur adalah: Peruntukan lantai dasar, lantai atas, maupun lantai besmen.

Peruntukan lahan tertentu, misalnya berkaitan dengan konteks lahan perkotaan‐perdesaan, konteks bentang alam/ lingkungan konservasi, atau pun konteks tematikal pengaturan pada spotruang bertema tertentu. Dalam penetapan peruntukan lahan mikro ini masih terbuka kemungkinan untuk melibatkan berbagai masukan desain hasil interaksi berbagai pihak seperti perancang/penata kota, pihak pemilik lahan, atau pun pihak pemakai/pengguna/masyarakat untuk melahirkan suatu lingkungan dengan ruang‐ruang yang berkarakter tertentu sesuai dengan konsep struktur perancangan kawasan. Penetapan ini tidak berarti memperbaiki alokasi tata guna lahan pada aturan rencana tata ruang wilayah yang ada, namun berupa tata guna yang diterapkan
dengan skala keruangan yang lebih rinci, misalnya secara vertikal per lantai.

Prinsip‐prinsip Penataan
Secara Fungsional merupakan; keragaman tata guna yang seimbang, saling menunjang (compatible) dan terintegrasi (Penetapan kaitan secara fungsional antarberbagai jenis peruntukan untuk mendukung prinsip keragaman yang seimbang dan saling menguntungkan namun tidak memberikan dampak penting terhadap fungsi utama lingkungan. Penetapan besaran komponen tata bangunan yang dapat mengadaptasi dan mengadopsi kebutuhan keragaman fungsi/ peruntukan dalam blok/ kaveling/ bangunannya. Penetapan peruntukan mengantisipasi aktivitas interaksi sosial yang direncanakan, dengan tetapmengacu pada rencana tata ruang wilayah.
Penetapan kualitas ruang yang menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, sehat dan menarik, berwawasan ekologis, serta tanggap terhadap tuntutan ekonomi dan sosial). Pola distribusi jenis peruntukan yang mendorong terciptanya interaksi aktivitas (Penyebaran distribusi jenis peruntukan lahan mikro yang diatur secara keruangan untuk membentuk ruangruang kota yang hidup, layak huni, serta menciptakan kualitas taraf hidup; Pembentukan kualitas lingkungan yang optimal, terutama dengan adanya interaksi antara aktivitas pejalan kaki di muka bangunan dan aktivitas di lantai dasar bangunan).
Pengaturan pengelolaan area peruntukan (Penetapan distribusi persentase jenis peruntukan lahan mikro yang akan dikelola dan dikendalikan oleh pemerintah daerah, di antaranya Ruang Terbuka Hijau, Daerah Milik Jalan (Damija), dan fasilitas umum). Pengaturan kepadatan pengembangan kawasan (dengan pertimbangan daya dukung dan karakter kawasan tersebut dan Variasi/ pencampuran peruntukan) Secara Fisik merupakan ; estetika, karakter, dan citra kawasan (Penetapan pengendalian peruntukan yang mendukung karakter khas kawasan yang telah ada atau pun yang ingin dibentuk;

Penetapan pengaruh ideologi, nilai‐nilai sosial budaya setempat, misalnya bangunan masjid dengan peruntukan fasilitas umum diorientasikan pada pusat lingkungan/ kawasan. Skala ruang yang manusiawi dan berorientasi pada pejalan kaki serta aktivitas yang diwadahi: Penciptaan keseimbangan tata guna lahan yang berorientasi pada pemakai bangunan dan ramah pejalan kaki; Penetapan alokasi untuk fasilitas umum dan fasilitas sosial yang ditempatkan sebagai pusat lingkungan yang dapat dijangkau pejalan kaki; Penetapan peruntukan lahan yang tidak saja melibatkan pertimbangan fisik, tetapi juga sosial budaya dan perilaku pemakai/ aktivitas
lingkungan yang dikehendaki. Secara Lingkungan merupakan : Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar (Penciptaan karakter lingkungan yang tanggap dan integral dengan karakter peruntukan eksisting
lingkungan sekitar); Keseimbangan peruntukan lahan dengan daya dukung lingkungan (Penetapan peruntukan lahan yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan,namun tetap dapat memperkuat karakter kawasan tersebut; Pengaturan peruntukan lahan secara ketat dan detail pada kawasan khusus konservasi hijau). Kelestarian ekologis kawasan (Penetapan peruntukan lahan yang tanggap terhadap topografi dan kepentingan kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penyebaran area terbangun dan perkerasan serta beradaptasi dengan tatanan kontur yang ada.

2. Sistem Sirkulasi dan Jalur Penghubung
Sistem sirkulasi dan jalur penghubung terdiri dari jaringan jalan dan pergerakan, sirkulasi kendaraan umum, sirkulasi kendaraan pribadi, sirkulasi kendaraan informal setempat dan sepeda, sirkulasi pejalan kaki (termasuk masyarakat penyandang cacat dan lanjut usia), sistem dan sarana transit, sistem parkir, perencanaan jalur pelayanan lingkungan, dan sistem jaringan penghubung.

Manfaat
Mengoptimalkan efisiensi pemanfaatan prasarana jalan dengan jenis arus pergerakan yang terjadi; Mendapatkan distribusi atau penyebaran pergerakan yang selaras dengan jenis aktivitas yang diwadahi sehingga dicapai ketertiban Mencapai kinerja fungsi serta keseimbangan, kaitan, keterpaduan dari berbagai elemen pergerakan, lingkungan dan sosial, antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya.

Komponen Penataan
Sistem jaringan jalan dan pergerakan, yaitu rancangan sistem pergerakan yang terkait, antara jenis‐jenis hirarki/ kelas jalan yang tersebar pada kawasan perencanaan (jalan arteri, kolektor dan jalan lingkungan/ lokal) dan jenis pergerakan yang melaluinya, baik masuk dan keluar kawasan, maupun masuk dan keluar kaveling. Sistem sirkulasi kendaraan umum, yaitu rancangan sistem arus pergerakan kendaraan umum formal, yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan. Sistem sirkulasi kendaraan pribadi, yaitu rancangan sistem arus pergerakan bagi kendaraan pribadi sesuai dengan hirarki/kelas jalan pada kawasan perencanaan. Sistem sirkulasi kendaraan umum informal setempat, yaitu rancangan sistem arus pergerakan bagi kendaraan umum dari sektor informal, seperti ojek, becak, andong, dan sejenisnya, yang dipetakan pada hirarki/ kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan. Sistem pergerakan transit, yaitu rancangan sistem perpindahan arus pergerakan dari dua atau lebih moda transportasi yang berbeda, yang dipetakan pada hirarki/ kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan. Sistem parkir, yaitu rancangan sistem gerakan arus masuk dan keluar kaveling atau grup kaveling untuk parkir kendaraan di dalam internal kaveling. Sistem perencanaan jalur servis/ pelayanan lingkungan, yaitu rancangan sistem arus pergerakan dari kendaraan servis (seperti pengangkut sampah, pengangkut barang, dan kendaraan pemadam kebakaran) dari suatu kaveling atau blok lingkungan tertentu, yang dipetakan pada hirarki/kelas jalan yang ada pada kawasan perencanaan. Sistem sirkulasi pejalan kaki dan sepeda, yaitu rancangan sistem arus pejalan kaki (termasuk penyandang cacat dan lanjut usia) dan pemakai sepeda, yang khusus disediakan pada kawasan perencanaan. Sistem jaringan jalur penghubung terpadu (pedestrian linkage), yaitu rancangan sistem jaringan berbagai jalur penghubung yang memungkinkan menembus beberapa bangunan atau pun beberapa kaveling tertentu dan dimanfaatkan bagi kepentingan jalur publik. Jalur penghubung terpadu ini dibutuhkan terutama pada daerah dengan intensitas kegiatan tinggi dan beragam, seperti pada area komersial lingkungan permukiman atau area fungsi campuran (mixed‐used). Jalur penghubung terpadu harus dapat memberikan kemudahan aksesibilitas bagi pejalan kaki.

Prinsip‐prinsip Penataan
Secara Fungsi merupakan : kejelasan sistem sirkulasi (Perencanaan sistem sirkulasi yang jelas dan mudah dipahami tentang sistem kaitan antara jejaring jalur‐jalur utama, jalur sekunder, dan jalur lokal sesuai hirarki/kelas jalan; Mobilitas publik (Peningkatan kaitan antarsistem sirkulasi pada kawasan perencanaan dengan sistem sirkulasi kawasan sekitar; Penciptaan sistem sirkulasi yang mudah diakses sebesar‐besarnya oleh publik termasuk penyandang cacat dan lanjut usia (difabel), sehingga memperkaya karakter dan integrasi sosial para pemakainya; Peningkatan kaitan dan pemisahan yang jelas di antara berbagai moda sirkulasi (pejalan kaki, sepeda, angkutan umum, kendaraan pribadi, maupun kendaraan servis); Peningkatan sistem penghubung yang lebih berorientasi pada pejalan kaki. Aksesibilitas kawasan: Perencanaan kawasan yang mengintegrasikan sirkulasi eksternal dan internal dari/ke/di dalam kawasan/blok atau subblok; Penciptaan kawasan yang mewadahi kebutuhan semua orang termasuk masyarakat difabel. Secara fisik meliputi penataan: Dimensi sirkulasi dan standar aksesibilitas Perencanaan teknis aksesibilitas lingkungan merujuk pada Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2006 tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Gedung dan Lingkungan; Estetika, citra dan karakter kawasan, melalui: Perencanaan sistem sirkulasi yang mencerminkan karakter khas setempat; Perencanaan sistem sirkulasi secara simultan dengan pengaturan kendaraan umum informal lokal seperti becak, ojek, oplet, andong, mini bus, dan angkutan kota sebagai optimalisasi pemanfaatan karakter pergerakan setempat dengan jenis moda transportasi yang beragam; Kualitas fisik (Penetapan desain yang memenuhi kenyamanan pemakai dengan mempertimbangkan iklim/cuaca setempat; Penetapan desain yang mengutamakan keselamatan pejalan kaki dengan pengolahan elemen pembatas dan pengaman pejalan kaki (seperti bollards) dan elemen peneduh yang memberi kenyamanan; Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan (Penyediaan elemen pendukung kegiatan seperti perabot jalan berupa lampu, dan pemilihan material perkerasan, dll)

3. Intensitas Pemanfaatan Lahan
Adalah tingkat alokasi dan distribusi luas lantai maksimum bangunan terhadap lahan/ tapak peruntukannya.

Manfaat:
Mencapai efisiensi dan efektivitas pemanfaatan lahan secara adil; Mendapatkan distribusi kepadatan kawasan yang selaras pada batas daerah yang direncanakan berdasarkan ketentuan dalam rencana tata ruang wilayah yang terkait; Mendapatkan distribusi berbagai elemen intensitas lahan pemanfaatan lahan (Koefisien Dasar Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan, Koefisien Daerah Hijau, dan Koefisien Tapak Basemen) yang dapat mendukung berbagai karakter khas dari berbagai subarea yang direncanakan; Merangsang pertumbuhan kota dan berdampak langsung pada perekonomian kawasan; dan Mencapai keseimbangan, kaitan dan keterpaduan dari berbagai elemen intensitas pemanfaatan lahan dalam hal pencapaian kinerja fungsi, estetis dan sosial, antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya.

Komponen Penataan
Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruhlantai dasar bangunan gedung yang dapat dibangun dan luas lahan/ tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai. Koefisien Lantai Bangunan (KLB), yaitu angka persentase perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai seluruh bangunan yang dapat dibangun dan luas lahan/ tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai. Koefisien Daerah Hijau (KDH), yaitu angka persentase perbandingan antara luas seluruh ruang terbuka di luarbangunan gedung yang diperuntukkan bagi pertamanan/ penghijauan dan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai. Koefisien Tapak Besmen (KTB), yaitu angka persentase perbandingan antara luas tapak besmen dan luas tanah perpetakan/ daerah perencanaan yang dikuasai. Sistem Insentif‐
Disinsentif Pengembangan, terdiri atas: (i) Insentif Luas Bangunan, yaitu insentif yang terkait dengan KLB dan diberikan apabila bangunan gedung terbangun memenuhi persyaratan peruntukan lantai dasar yang dianjurkan. Luas lantai bangunan yang ditempati oleh fungsi tersebut dipertimbangkan untuk tidak diperhitungkan dalam KLB; (ii) Insentif Langsung, yaitu insentif yang memungkinkan penambahan luas lantai maksimum bagi bangunan gedung yang menyediakan fasilitas umum berupa sumbangan positif bagi lingkungan permukiman terpadu; termasuk di antaranya jalur pejalan kaki, ruang terbuka umum, dan fasilitas umum.
Sistem Pengalihan Nilai Koefisien Lantai Bangunan (TDR=Transfer of Development Right), yaitu hak pemilik bangunan/pengembang yang dapat dialihkan kepada pihak atau lahan lain, yang dihitung berdasarkan pengalihan nilai KLB, yaitu selisih antara KLB aturan dan KLB terbangun.
Maksimum KLB yang dapat dialihkan pada umumnya sebesar 10% dari nilai KLB yang ditetapkan. Pengalihan nilai KLB hanya dimungkinkan bila terletak dalam satu daerah perencanaan yang sama dan terpadu, serta yang bersangkutan telah memanfaatkan minimal 60% KLB‐nya dari KLB yang sudah ditetapkan pada daerah perencanaan.Pengalihan ini terdiri atas: (i) Hak Pembangunan Bawah Tanah, hak ini memungkinkan pembangunan fungsi‐fungsi di bawah tanah yang tidak diperhitungkan ke dalam KLB yang dimiliki bangunan gedung di atasnya, dengan memenuhi kriteria sesuai Peraturan Menteri PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung; (ii) Hak Pembangunan Layang (Air Right Development), merupakan mekanisme yang mirip dengan Hak Pembangunan Bawah Tanah, namun berlaku untuk pembangunan di atas prasarana umum (melayang), seperti jalan, yaitu berupa bangunan pedestrian layang atau bangunan komersial layang, dengan ketentuan sesuai Peraturan Menteri PU No. 29/PRT/M/2006
tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung.

Prinsip‐prinsip Penataan
Secara Fungsional merupakan : Kejelasan distribusi intensitas pemanfaatan lahan, yaitu pengarahan sistem pengaturan dan distribusi luas lantai maksimum yang dapat dibangun diberbagai subbagian kawasan sehingga tercipta besaran ruang/bangunan yang akan menempati lahan sesuai dengan masing‐masing peruntukan lahan yang ditetapkan. Skala ruang yang manusiawi dan berorientasi pada pejalan kaki, yaitu penciptaan keseimbangan lingkungan yang berorientasi pada pemakai bangunan berskala ramah pejalan kaki, sekaligus menghidupkan ruang kota dengan berbagai aktivitas pada tingkat lingkungan pejalan kaki.
Kejelasan skala pengembangan, yaitu: Penggambaran skala pengembangan pada kawasan perencanaan tertentu dengan arahan fungsi yang ditetapkan; Penciptaan suatu skala pengembangan yang mengaitkan satu komponen dengan komponen lain (misalnya antara KLB dan tinggi bangunan) secara tepat untuk membatasi pengembangan lahan sesuai dengan daya dukung atau kapasitas infrastruktur yang ada.
Pengaturan kepadatan pengembangan kawasan (development density) yang memperhatikan: Pengarahan distribusi kepadatan lahan yang tepat untuk mencapai nilai tambah yang dikehendaki sesuai dengan ketentuan daya dukung dan karakter kawasan tersebut;
Pembatasan besaran nilai dari komponen Intensitas Pemanfaatan Lahan yang tepat agar tercapai kenyamanan iklim mikro berskala lingkungan; Penggunaan beberapa satuan unit per hektar yang berbeda antara perencanaan kawasan pemukiman (lebih menitikberatkan pada KDB) dan kawasan komersial (lebih menitikberatkan pada kombinasi KLB dan KDB); Penyelesaian suatu kawasan padat yang diarahkan sebagai kawasan pembangunan kompak dan terpadu (compact and integrated development) melalui pengaturan peruntukan campuran serta jenis kepadatan yang beragam. Secara Fisik : meliputi penataan: Estetika, karakter dan citra (image) kawasan melalui: Penetapan kepadatan kelompok bangunan dalam kawasan perencanaan melalui pengaturan besaran berbagai elemen Intensitas Pemanfaatan Lahan yang ada (seperti KDB, KLB, KTB, dan KDH) yang mendukung terciptanya berbagai karakter khas dari berbagai sub area.
Pembentukan citra lingkungan yang tepat melalui pembatasan nilai‐nilai dari elemen Intensitas Pemanfaatan Lahan (misalnya pembatasan KDB dan KLB secara khusus) untuk membentuk lingkungan yang berjati diri. Secara Lingkungan, meliputi: Keseimbangan kawasan perencanaan dengan wilayah sekitar, melalui: Pengaturan keseimbangan, kaitan dan keterpaduan berbagai elemen Intensitas Pemanfaatan Lahan dalam hal fungsi, estetis dan sosial, agar mencapai keselaras serasian antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya. Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan melalui: Penentuan kepadatan khusus pada kawasan/ kondisi lingkungan tertentu seperti: daerah bantaran sungai, daerah khusus resapan, daerah konservasi hijau, atau pun daerah yang memiliki kemiringan lahan lebih dari 25%; Penentuan kepadatan kawasan perencanaan dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan, pelestarian ekosistem, namun tetap dapat memperkuat karakter kawasan. Salah satunya adalah pada lahan rawan bencana alam, yang kepadatan bangunannya harus dikendalikan dengan ketat, bahkan bila perlu hingga 0 (nol) unit per hektar. Pelestarian ekologis kawasan melalui: Penetapan ambang Intensitas Pemanfaatan lahan secara merata (terutama KLB rata‐rata) dapat memakai sistem deposit, yaitu lebih rendah daripada kapasitas maksimumnya berdasarkan pertimbangan ekologis, di mana kelebihan kapasitas tersebut disimpan sebagai cadangan perkembangan masa mendatang, atau pun dialihkan ke bagian lain dalam kawasan perencanaan yang sama; Pembatasan besaran beberapa elemen yang terkaitdengan pembentukan ruang terbuka dan penghijauan, seperti KDB dan KDH yang tepat, untuk membatasi luas lahan yang terbangun atau tertutup perkerasan sebagai upaya melestarikan ekosistem, sehingga lingkungan yang bersangkutan masih memiliki sisa tanah sebanyakbanyaknya, yang diperuntukkan bagi penghijauan atau ruang terbuka, dan dapat menyerap/mengalirkan air hujan ke dalam tanah; Penetapan distribusi daerah hijau yang menyeluruh, termasuk dan tidak terkecuali, bangunan‐bangunan berlantai sedang atau pun tinggi dalam hal penyediaan ruang terbuka hijau pada daerah podium atau daerah atap bangunan tersebut; Penetapan kebutuhan ruang terbuka ini juga dimungkinkan untuk melayani kebutuhan di luar lingkungan perencanaan. Pemberdayaan kawasan melalui: Peningkatan promosi pembangunan melalui peningkatan nilai tanah dan distribusi Intensitas Pemanfaatan Lahan yang tepat pada kawasan perencanaan dalam konteks lingkungan skala regional; Peningkatan hubungan fungsional antar berbagai jenis peruntukan dalam kawasan perencanaan melalui alokasi distribusi Intensitas Pemanfaatan Lahan yang saling terkait, seimbang dan terpadu; Peningkatan modifikasi desain/pengembangan sesuai karakter setempat.

4. Tata Bangunan
Tata Bangunan adalah produk dari penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungannya sebagai wujud pemanfaatan ruang, meliputi berbagai aspek termasuk pembentukan citra/karakter fisik lingkungan, besaran, dan konfigurasi dari elemen‐elemen: blok, kaveling/petak lahan, bangunan, serta ketinggian dan elevasi lantai bangunan, yang dapat menciptakan dan mendefinisikan berbagai kualitas ruang kota yang akomodatif terhadap keragaman kegiatan yang ada, terutama yang berlangsung dalam ruang‐ruang publik
Tata Bangunan juga merupakan sistem perencanaan sebagai bagian dari penyelenggaraan bangunan gedung beserta lingkungannya, termasuk sarana dan prasarananya pada suatu lingkungan binaan baik di perkotaan maupun di perdesaan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dengan aturan tata ruang yang berlaku dalam RTRW Kabupaten/Kota, dan rencana rincinya.

Manfaat
Mewujudkan kawasan yang selaras dengan morfologi perkembangan area tersebut serta keserasian dan keterpaduan pengaturan konfigurasi blok, kaveling dan bangunan; Meningkatkan kualitas ruang kota yang aman, nyaman, sehat, menarik, dan berwawasan ekologis, serta akomodatif terhadap keragaman kegiatan; Mengoptimalkan keserasian antara ruang luar bangunan dan lingkungan publik sehingga tercipta ruang‐ruang antarbangunan yang interaktif; Menciptakan berbagai citra dan karakter khas dari berbagai subarea yang direncanakan; Mencapai keseimbangan, kaitan dan keterpaduan dari berbagai elemen tata bangunan dalam hal pencapaian kinerja, fungsi, estetis dan sosial, antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya; Mencapai
lingkungan yang tanggap terhadap tuntutan kondisi ekonomi serta terciptanya integrasi sosial secara keruangan.

Komponen Penataan
Meliputi: Pengaturan Blok Lingkungan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam kawasan menjadi blok dan jalan, di mana blok terdiri atas petak lahan/ kaveling dengan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: Bentuk dan Ukuran Blok; Pengelompokan dan Konfigurasi Blok; Ruang terbuka dan tata hijau.
Pengaturan Kaveling/Petak Lahan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam blok menjadi sejumlah kaveling/ petak lahan dengan ukuran, bentuk, pengelompokan dan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: Bentuk dan Ukuran Kaveling; Pengelompokan dan Konfigurasi Kaveling; Ruang terbuka dan tata hijau. Pengaturan Bangunan, yaitu perencanaan pengaturan massa bangunan dalam blok/ kaveling. Pengaturan ini terdiri atas: Pengelompokan Bangunan; Letak dan Orientasi Bangunan; Sosok Massa Bangunan; Ekspresi Arsitektur Bangunan. Pengaturan Ketinggian dan

Prinsip‐prinsip Penataan
Secara Fungsional merupakan : Optimalisasi dan efisiensi (Penentuan desain kaveling/blok yang paling optimal dan efisien bagi lingkungan secara spesifik dan khas, terkait dengan pemenuhan aspek‐aspek fungsional, visual, dan kualitas lingkungan; Penentuan dan pembatasan berbagai bentuk dan ukuran blok, kaveling dan bangunan yang paling tepat pada berbagai subkawasan dengan tetap mengupayakan keseimbangan, kaitan dan paduan di antaranya). Kejelasan pendefinisian ruang yang diciptakan (Penentuan panduan umum penempatan deretan bangunan yang membentuk lingkupan/ enclosure dalam mendefinisikan ruang tertentu; Pembentukan batasan yang jelas antara ruang publik di muka bangunan dan ruang privat dibelakang batas lahan privat yang ditempati bangunan).
Keragaman fungsi dan aktivitas yang diwadahi (Penetapan komponen tata bangunan yang dapat mengadaptasi dan mengadopsi kebutuhan keragaman fungsi/peruntukan dalam blok/ kaveling/bangunannya; Penetapan desain yang dapat mengantisipasi kaitan kepadatan bangunan/kaveling/blok dengan aktivitas interaksi sosial yang direncanakan; Peningkatan kualitas ruang dengan menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik, berwawasan ekologis, serta tanggap terhadap tuntutan ekonomi dan sosial.
Skala dan proporsi ruang yang berorientasi pada pejalan kaki (Penciptaan keseimbangan tata bangunan yang berorientasi pada “ramah pejalan kaki”, sekaligus menghidupkan ruang wilayah dengan berbagai aktivitas pada tingkat lingkungan pejalan kaki; Skala dan proporsi harus mempertimbangkan aspek visual dari skala manusiawi yang tercipta pada pejalan kaki; Peningkatan kualitas fisik lingkungan secara optimal dari interaksi antara aktivitas pejalan kaki dimuka bangunan dan aktivitas di lantai dasar bangunan, atau pun adanya peningkatan kualitas visual dari penyelesaian dinding muka bangunan yang berhadapan langsung sehingga dapatdinikmati oleh pejalan kaki. Fleksibilitas: Penentuan panduan tata bangunan yang akomodatif terhadap kemungkinan pengembangan fungsi yang beragam sesuai dengan perkembangan ekonomi, sosial dan jaman.
Pola hubungan/konektivitas (Penciptaan kejelasan hubungan arahan antarbangunan/kaveling/ blok satu sama lainnya yang dapat berorientasi pada pusat lingkungan/ kawasan agar menjamin terciptanya interaksi sosial antarpemakainya serta mendukung pemecahan masalah keamanan lingkungan dengan pengawasan bersama; Penetapan pengelompokan bangunan/kaveling/ blok yang tersebar dalam lingkungan namun memiliki kaitan satu sama lain dengan adanya jalur penghubung yang dapat berbentuk jalur pedestrian, ruang antarbangunan, jalur tembus lantai dasar, dan jalur penghubung lantai atas; Penetapan kepentingan yang menghidupkan kaitan aktivitas publik di muka bangunan/lahan yang bersangkutan tanpa meninggalkan kepentingan penciptaan privasi pemilik bangunan pada lahan privat. Kejelasan orientasi dan kontinuitas (Penciptaan panduan desain bangunan/kaveling/ blok yang dapat berorientasi kepada pusat lingkungan komunitasnya; Penciptaan kontinuitas ruang publik, yang paling dirasakan manfaatnya terutama oleh pejalan kaki, termasuk ruang publik yang disumbangkan dari ruang privat (misalnya berupa arkade atau kolonade). Kemudahan layanan: Penetapan keseimbangan tata bangunan dari blok/ kaveling/bangunan yang memudahkan pelayanan dari fungsi yang diwadahi. Menghindari eksklusivitas: Penciptaan kualitas lingkungan binaan yang dapat berintegrasi dengan lingkungan sekitar yang berskala lebih makro, serta menghindari eksklusivitas dari pengembangan lingkungan/kawasan. Secara Fisik dan Nonfisik Meliputi penataan: Pola, dimensi, dan standar umum (Penetapan batasan umum terhadap blok, kaveling dan massa bangunan sehubungan dengan arahan pengembangan dan fungsi/ kegiatan yang mewadahinya; Penetapan batasan Garis Sempadan Bangunan (GSB), Garis Sempadan Samping/Belakang Bangunan (GSpB/GSbB), Garis Muka Bangunan (GMB), atau pun batasan spesifik lain, seperti Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Pantai, yang terkait dengan kondisi kawasan perencanaan; Penetapan arahan umum dimensi/luas bangunan dengan merujuk pada kebutuhan tipe dan langgam bangunan yang akan diciptakan, misalnya penetapan atas tipe bangunan hunian tunggal, kopel, deret, atas jenis bangunan Wisma Taman (WTm) atau rumah tipe villa, Wisma Sedang (WSd) dan Wisma Besar (WBs). Estetika, karakter dan citra (image) kawasan (Pengendalian kepadatan gugusan bangunan/ kaveling/blok dalam kawasan perencanaan yang menciptakan karakter khas dan berjati diri; Penetapan desain yang memenuhi kualitas visual yang diharapkan; Penetapan pengaruh ideologi, nilai‐nilai sosial budaya setempat, aksentuasi, dan makna ruang yang akan diciptakan; Penciptaan kaitan citra dan karakter visual hasil dari komposisi garis langit (skyline) deret bangunan yang tidak hanya berskala setempat, melainkan juga berskala kawasan/wilayah). Kualitas fisik: Penetapan desain yang memenuhi kenyamanan pemakai dan pejalan kaki, kenyamanan sirkulasi udara dan sinar matahari, serta klimatologi. Ekspresi bangunan dan lingkungan (Penetapan panduan ekspresi arsitektur yang memperkaya dan mengembangkan arsitektur khas Indonesia; Penciptaan ruang wilayah/lingkungan yang bermakna dan terkait dengan jati diri setempat, tidak bersifat figuratif, serta berkorelasi dengan kultur perilaku/budaya, nilai‐nilai historis dan kehidupan khas setempat; Penetapan panduan jenis langgam/gaya bangunan yang mengacu pada kontekstualitas lingkungan sekitar, terutama yang memang sudah memiliki langgam tertentu atau pun pada daerah yang dipugar; Penetapan panduan insentif bagi bangunan yang menerapkan karakter wujud bangunan tertentu yang secara spesifik memiliki nilai tambah yang ditetapkan, misalnya bangunan berkonsep arsitektur hijau, dan arsitektur tradisional. Lingkungan Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar, yaitu: Penciptaan karakter lingkungan yang tanggap dan integral dengan karakter eksisting struktur lingkungan; Keseimbangannya dengan daya dukung lingkungan, yaitu: Penetapan kepadatan gugusan bangunan/ kaveling/ blok dalam kawasan perencanaan yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan, namun dapat memperkuat karakter kawasan; Kelestarian ekologis kawasan (Penetapan besaran komponen tata bangunan tertentu, misalnya konfigurasi kaveling dan orientasi bangunan) yang tanggap terhadap topografi dengan menetapkan minimum kepadatan dan ukuran kaveling yang dapat diakomodasi, serta meminimalkan perubahan ekstrim (cut‐fill); Pembatasan besaran pada kawasan khusus konservasi hijau; Pembatasan yang tanggap terhadap topografi dan kepentingan kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penyebaran area terbangun dan perkerasan serta mengadaptasi tatanan kontur yang ada. Pemberdayaan kawasan: Peningkatan modifikasi desain/ pengembangan yang sesuai dengan
karakter lokal.

5. Ruang Terbuka dan Tata Hijau
Ruang Terbuka dan Tata Hijau merupakan komponen rancang kawasan, yang tidak sekadar terbentuk sebagai elemen tambahan atau pun elemen sisa setelah proses rancang arsitektural diselesaikan, melainkan juga diciptakan sebagai bagian integral dari suatu lingkungan yang lebih luas. Penataan sistem ruang terbuka diatur melalui pendekatan desain tata hijau yang membentuk karakter lingkungan serta memiliki peran penting baik secara ekologis, rekreatif dan estetis bagi lingkungan sekitarnya, dan memiliki karakter terbuka sehingga mudah diakses sebesar‐besarnya oleh publik.

Manfaat
Meningkatkan kualitas kehidupan ruang kota melalui penciptaan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik dan berwawasan ekologis; Mendorong terciptanya kegiatan publik sehingga tercipta integrasi ruang sosial antarpenggunanya; Menciptakan estetika, karakter dan orientasi visual dari suatu lingkungan; Menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi pada kepentingan pejalan kaki; Mewujudkan lingkungan yang nyaman, manusiawi dan berrkelanjutan.

Komponen Penataan
Sistem Ruang Terbuka Umum (kepemilikan publik aksesibilitas publik), yaitu ruang yang karakter fisiknya terbuka, bebas dan mudah diakses publik karena bukan milik pihak tertentu. Sistem Ruang Terbuka Pribadi (kepemilikan pribadi–aksesibilitas pribadi), yaitu ruang yang karakter fisiknya terbuka tapi terbatas, yang hanya dapat diakses oleh pemilik, pengguna atau pihak tertentu.
Sistem Ruang Terbuka Privat yang dapat diakses oleh Umum (kepemilikan pribadi– aksesibilitas publik), yaitu ruang yang karakter fisiknya terbuka, serta bebas dan mudah diakses oleh publik meskipun milik pihak tertentu, karena telah didedikasikan untuk kepentingan publik sebagai hasil kesepakatan antara pemilik dan pihak pengelola/ pemerintah daerah setempat, dimana pihak pemilik mengizinkan lahannya digunakan untuk kepentingan publik, dengan mendapatkan kompensasi berupa insentif/disinsentif tertentu, tanpa mengubah status kepemilikannya. Sistem Pepohonan dan Tata Hijau, yaitu pola penanaman pohon yang disebar pada ruang terbuka publik. Bentang Alam, yaitu ruang yang karakter fisiknya terbuka dan terkait dengan area yang dipergunakan sebesar‐besarnya untuk kepentingan publik, dan pemanfaatannya sebagai bagian dari alam yang dilindungi. Pengaturan ini untuk kawasan: Pantai dan laut, sebagai batas yang melingkupi tepian kawasan, menentukan atmosfir dari suasana kehidupan kawasan, serta dasar penciptaan pola tata ruang; Sungai, sebagai pembentuk koridor ruang terbuka; Lereng dan perbukitan, sebagai potensi pemandangan luas; Puncak bukit, sebagai titik penentu arah orientasi visual, serta memberikan kemudahan dalam menentukan arah (tengaran alam). Area Jalur Hijau, yaitu salah satu ruang terbuka hijau yang berfungsi sebagai area preservasi dan tidak dapat dibangun. Pengaturan ini untuk kawasan: Sepanjang sisi dalam Daerah Milik Jalan (Damija); Sepanjang bantaran sungai; Sepanjang sisi kiri kanan jalur kereta; Sepanjang area dibawah jaringan listrik tegangan tinggi; Jalur hijau yang diperuntukkan sebagai jalur taman kota atau hutan kota, yang merupakan pembatas ataupemisah suatu wilayah.

Prinsip‐prinsip Penataan
Secara Fungsional, meliputi: Pelestarian ruang terbuka kawasan Pendistribusian berbagai jenis ruang terbuka yang disesuaikan dengan kebutuhan tipologis fungsi/ peruntukan, sirkulasi dan elemen perancangan lainnya. Aksesibilitas publik (Penciptaan integrasi sosial secara keruangan bagi semua pengguna termasuk penyandang cacat dan lanjut usia pada berbagai ruang terbuka kawasan yang ada; Penciptaan ruang publik yang dapat diakses secara terbuka oleh publik sehingga dapat memperkaya karakter dan integrasi sosial para pemakai ruang kota. Keragaman fungsi dan aktivitas (Penciptaan ruang yang dapat mengadaptasi dan mengadopsi berbagai aktivitas interaksi sosial yang direncanakan, dan tetap mengacu pada ketentuan rencana tata ruang wilayah; Penetapan kualitas ruang yang menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, sehat dan menarik, serta berwawasan ekologis). Skala dan proporsi ruang yang manusiawi dan berorientasi bagi pejalan kaki (Penciptaan keseimbangan ruang terbuka atau pun ruang terbuka antarbangunan dengan tema ramah bagi pejalan kaki sekaligus menghidupkan ruang kawasan melalui berbagai aktivitas pada area pejalan kaki; Penciptaan iklim mikro berskala lingkungan yang memberi kenyamanan dan keserasian pada area pejalan kaki. Secara Fisik dan Nonfisik : merupakan peningkatan estetika, karakter dan citra kawasan; Kualitas fisik (Perancangan lingkungan yang memenuhi kriteria kenyamanan bagi pemakai, kelancaran sirkulasi udara,pancaran sinar matahari, tingkat kebisingan, dan aspek klimatologi lainnya. Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan: Penyediaan elemen pendukung kegiatan seperti street furniture (kios, tempat duduk, lampu, material perkerasan elemen, dan lain‐lain). Secara Lingkungan merupakan : Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar; Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan; Kelestarian ekologis kawasan; Pemberdayaan kawasan (Pengembangan potensi bentang alam sebagai unsur kenyamanan kota dengan merencanakannya sebagai ruang terbuka bagi publik dan Penekanan adanya pelestarian alam dengan merencanakan proteksi terhadap area bentang alam yang rawan terhadap kerusakan.

6. Kualitas Lingkungan
Penataan Kualitas Lingkungan merujuk pada upaya rekayasa elemen‐elemen kawasan yang sedemikian rupa sehingga tercipta suatu kawasan atau subarea dengan sistem lingkungan yang informatif, berkarakter khas, dan memiliki orientasi tertentu.

Manfaat
Mencapai kualitas lingkungan kehidupan manusia yang aman, nyaman, sehat dan menarik, serta berorientasi kepada lingkungan mikro; Menyatukan kawasan sebagai sistem lingkungan yang berkualitas dengan pembentukan karakter dan identitas lingkungan yang spesifik; Mengoptimalkan kegiatan publik yang diwadahinya sehingga tercipta integrasi ruang sosial antarpenggunanya, serta menciptakan lingkungan yang berkarakter dan berjati diri; Menciptakan estetika, karakter, dan orientasi visual, dari suatu lingkungan; Menciptakan iklim mikro lingkungan yang berorientasi kepada kepentingan pejalan kaki.

Komponen Penataan
Konsep Identitas Lingkungan, yaitu perancangan karakter (jati diri) suatu lingkungan yang dapat diwujudkan melalui pengaturan dan perancangan elemen fisik dan nonfisik lingkungan atau subarea tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: Tata karakter bangunan/lingkungan (built‐in signage and directional system), yaitu pengolahan elemen‐eleman fisik bangunan/lingkungan untuk mengarahkan atau memberi tanda pengenal suatu lingkungan/bangunan, sehingga pengguna dapat mengenali karakter lingkungan yang dikunjungi atau dilaluinya sehingga memudahkan pengguna kawasan untuk berorientasi dan bersirkulasi; Tata penanda identitas bangunan, yaitu
pengolahan elemen‐eleman fisik bangunan/lingkungan untuk mempertegas identitas atau penamaan suatu bangunan sehingga pengguna dapat mengenali bangunan yang menjadi tujuannya; Tata kegiatan pendukung secara formal dan informal (supporting activities), yaitu pengolahan secara terintegrasi seluruh aktivitas informal sebagai pendukung dari aktivitas formal yang diwadahi dalam ruang/bangunan, untuk menghidupkan interaksi social dari para pemakainya.
Konsep Orientasi Lingkungan, yaitu perancangan elemen fisik dan nonfisik guna membentuk lingkungan yang informatif sehingga memudahkan pemakai untuk berorientasi dan bersirkulasi. Pengaturan ini terdiri atas: Sistem tata informasi (directory signage system), yaitu pengolahan elemen fisik di lingkungan untuk menjelaskan berbagai informasi/ petunjuk mengenai tempat tersebut, sehingga memudahkan pemakai mengenali lokasi dirinya terhadap lingkungannya;
Sistem tata rambu pengarah (directional signage system), yaitu pengolahan elemen fisik di lingkungan untuk mengarahkan pemakai bersirkulasi dan berorientasi baik menuju maupun dari bangunan atau pun area tujuannya. Wajah Jalan, yaitu perancangan elemen fisik dan nonfisik guna membentuk lingkungan berskala manusia pemakainya, pada suatu ruang publik berupa ruas jalan yang akan memperkuat karakter suatu blok perancangan yang lebih besar. Pengaturan ini terdiri atas: Wajah penampang jalan dan bangunan; Perabot jalan (street furniture); Jalur dan ruang bagi pejalan kaki (pedestrian); Tata hijau pada penampang jalan; Elemen tata informasi dan rambu pengarah pada penampang jalan; Elemen papan reklame komersial pada penampang jalan.

7. Bentuk dan Massa Bangunan
Bentuk dan massa bangunan semata‐mata ditentukan oleh ketinggian atau besarnya bangunan, penampilan maupun konfigurasi dari masa bangunannya. Selain itu untuk memperoleh kualitas desain dari penampilan suatu bangungunan harus diperhatikan juga masalah dampak bangunan terhadap lingkungan dan keharmonisan serta kecocokan dengan bangunan‐bangunan disekitarnya.
Menyangkut aspek‐aspek bentuk fisik karena setting, spesifik yang meliputi ketinggian, besaran, floor area ratio, koefisien dasar bangunan, pemunduran (setback) dari garis jalan, style bangunan, skala proporsi, bahan, tekstur dan warna agar menghasilkan bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan‐bangunan lain disekitarnya.
Prinsip‐prinsip dan teknik Urban Design yang berkaitan dengan bentuk dan massa bangunan meliputi :
a. Scale, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan dimensi bangunan sekitar.
b. Urban Space, sirkulasi ruang yang disebabkan bentuk kota, batas dan tipe‐tipe ruang.
c. Urban Mass, meliputi bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang dapat tersusun
untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil. Massa bangunan terkait dengan tata bangunan, beberapa manfaat yang dapat tercapai dengan pendekatan bentuk, massa tata bangunan.

Manfaat
Mewujudkan kawasan yang selaras dengan morfologi perkembangan area tersebut serta keserasian dan keterpaduan pengaturan konfigurasi blok, kaveling dan bangunan; Meningkatkan kualitas ruang kota yang aman, nyaman, sehat, menarik, dan berwawasan ekologis, serta akomodatif terhadap keragaman kegiatan; Mengoptimalkan keserasian antara ruang luar bangunan dan lingkungan publik sehingga tercipta ruang‐ruang antarbangunan yang interaktif;
Menciptakan berbagai citra dan karakter khas dari berbagai subarea yang direncanakan; Mencapai keseimbangan, kaitan dan keterpaduan dari berbagai elemen tata bangunan dalam hal pencapaian kinerja, fungsi, estetis dan sosial, antara kawasan perencanaan dan lahan di luarnya; Mencapai lingkungan yang tanggap terhadap tuntutan kondisi ekonomi serta terciptanya integrasi sosial secara keruangan.
Komponen Penataan
Meliputi: Pengaturan Blok Lingkungan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam kawasan menjadi blok dan jalan, di mana blok terdiri atas petak lahan/ kaveling dengan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: Bentuk dan Ukuran Blok; Pengelompokan dan Konfigurasi Blok; Ruang terbuka dan tata hijau.
Pengaturan Kaveling/Petak Lahan, yaitu perencanaan pembagian lahan dalam blok menjadi sejumlah kaveling/ petak lahan dengan ukuran, bentuk, pengelompokan dan konfigurasi tertentu. Pengaturan ini terdiri atas: Bentuk dan Ukuran Kaveling; Pengelompokan dan Konfigurasi Kaveling; Ruang terbuka dan tata hijau.
Pengaturan Bangunan, yaitu perencanaan pengaturan massa bangunan dalam blok/ kaveling. Pengaturan ini terdiri atas: Pengelompokan Bangunan; Letak dan Orientasi Bangunan; Sosok Massa Bangunan; Ekspresi Arsitektur Bangunan.
Pengaturan Ketinggian dan Elevasi Lantai Bangunan, yaitu perencanaan pengaturan ketinggian dan elevasi bangunan baik pada skala bangunan tunggal maupun kelompok bangunan pada lingkungan yang lebih makro (blok/kawasan). Pengaturan ini terdiri atas: Ketinggian Bangunan; Komposisi Garis Langit Bangunan; Ketinggian Lantai Bangunan.

Prinsip‐prinsip Penataan
Secara Fungsional merupakan : Optimalisasi dan efisiensi (Penentuan desain kaveling/blok yang paling optimal dan efisien bagi lingkungan secara spesifik dan khas, terkait dengan pemenuhan aspek‐aspek fungsional, visual, dan kualitas lingkungan; Penentuan dan pembatasan berbagai bentuk dan ukuran blok, kaveling dan bangunan yang paling tepat pada berbagai subkawasan dengan tetap mengupayakan keseimbangan, kaitan dan paduan di antaranya). Kejelasan pendefinisian ruang yang diciptakan (Penentuan panduan umum penempatan deretan bangunan yang membentuk lingkupan/ enclosure dalam mendefinisikan ruang tertentu; Pembentukan batasan yang jelas antara ruang publik di muka bangunan dan ruang privat di belakang batas lahan privat yang ditempati bangunan). Keragaman fungsi dan aktivitas yang diwadahi (Penetapan komponen tata bangunan yangdapat mengadaptasi dan mengadopsi kebutuhan keragaman fungsi/peruntukan dalam blok/
kaveling/bangunannya; Penetapan desain yang dapat mengantisipasi kaitan kepadatan bangunan/kaveling/blok dengan aktivitas interaksi sosial yang direncanakan; Peningkatan kualitas ruang dengan menyediakan lingkungan yang aman, nyaman, sehat, menarik, berwawasan ekologis, serta tanggap terhadap tuntutan ekonomi dan sosial. Skala dan proporsi ruang yang berorientasi pada pejalan kaki (Penciptaan keseimbangan tata bangunan yang berorientasi pada “ramah pejalan kaki”, sekaligus menghidupkan ruang wilayah dengan berbagai aktivitas pada tingkat lingkungan pejalan kaki; Skala dan proporsi harus mempertimbangkan aspek visual dari skala manusiawi yang tercipta pada pejalan kaki; Peningkatan kualitas fisik lingkungan secara optimal dari interaksi antara aktivitas pejalan kaki di muka bangunan dan aktivitas di lantai dasar bangunan, atau pun adanya peningkatan kualitas visual dari penyelesaian dinding muka bangunan yang berhadapan langsung sehingga dapat dinikmati oleh pejalan kaki.
Fleksibilitas: Penentuan panduan tata bangunan yang akomodatif terhadap kemungkinan pengembangan fungsi yang beragam sesuai dengan perkembangan ekonomi, sosial dan jaman.
Pola hubungan/konektivitas (Penciptaan kejelasan hubungan arahan antarbangunan/ kaveling/ blok satu sama lainnya yang dapat berorientasi pada pusat lingkungan/ kawasan agar menjamin terciptanya interaksi sosial antarpemakainya serta mendukung pemecahan masalah keamanan lingkungan dengan pengawasan bersama; Penetapan pengelompokan bangunan/kaveling/ blok yang tersebar dalam lingkungan namun memiliki kaitan satu sama lain dengan adanya jalur penghubung yang dapat berbentuk jalur pedestrian, ruang antarbangunan, jalur tembus lantai dasar, dan jalur penghubung lantai atas; Penetapan kepentingan yang menghidupkan kaitan aktivitas publik di muka bangunan/lahan yang bersangkutan tanpa meninggalkan kepentingan penciptaan privasi pemilik bangunan pada lahan privat. Kejelasan orientasi dan kontinuitas (Penciptaan panduan desain bangunan/kaveling/ blok yang dapat berorientasi kepada pusat lingkungan komunitasnya; Penciptaan kontinuitas ruang publik, yang paling dirasakan manfaatnya terutama oleh pejalan kaki, termasuk ruang publik yang disumbangkan dari ruang privat (misalnya berupa arkade atau kolonade). Kemudahan layanan: Penetapan keseimbangan tata bangunan dari blok/ kaveling/bangunan yang memudahkan pelayanan dari fungsi yang diwadahi. Menghindari eksklusivitas: Penciptaan kualitas lingkungan binaan yang dapat berintegrasi dengan lingkungan sekitar yang berskala lebih makro, serta menghindari eksklusivitas dari pengembangan lingkungan/kawasan. Secara Fisik dan Nonfisik Meliputi penataan: Pola, dimensi, dan standar umum (Penetapan batasan umum terhadap blok, kaveling dan massa bangunan sehubungan dengan arahan pengembangan dan fungsi/ kegiatan yang mewadahinya; Penetapan batasan Garis Sempadan Bangunan (GSB), Garis Sempadan Samping/Belakang Bangunan (GSpB/GSbB), Garis Muka Bangunan (GMB), atau pun batasan spesifik lain, seperti Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Pantai, yang terkait dengan kondisi kawasan perencanaan; Penetapan arahan umum dimensi/luas bangunan dengan merujuk pada kebutuhan tipe dan langgam bangunan yang akan diciptakan, misalnya penetapan atas tipe bangunan hunian tunggal, kopel, deret, atas jenis bangunan Wisma Taman (WTm) atau rumah tipe villa, Wisma Sedang (WSd) dan Wisma Besar (WBs). Estetika, karakter dan citra (image) kawasan (Pengendalian kepadatan gugusan bangunan/ kaveling/blok dalam kawasan perencanaan yang menciptakan karakter khas dan berjati diri; Penetapan desain yang memenuhi kualitas visual yang diharapkan; Penetapan pengaruh ideologi, nilai‐nilai sosial budaya setempat, aksentuasi, dan makna ruang yang akan diciptakan; Penciptaan kaitan citra dan karakter visual hasil dari komposisi garis langit (skyline) deret bangunan yang tidak hanya berskala setempat, melainkan juga berskala kawasan/wilayah).
Kualitas fisik: Penetapan desain yang memenuhi kenyamanan pemakai dan pejalan kaki, kenyamanan sirkulasi udara dan sinar matahari, serta klimatologi. Ekspresi bangunan dan lingkungan (Penetapan panduan ekspresi arsitektur yang memperkaya dan mengembangkan arsitektur khas Indonesia; Penciptaan ruang wilayah/lingkungan yang bermakna dan terkait dengan jati diri setempat, tidak bersifat figuratif, serta berkorelasi dengan kultur perilaku/budaya, nilai‐nilai historis dan kehidupan khas setempat; Penetapan panduan jenis langgam/gaya bangunan yang mengacu pada kontekstualitas lingkungan sekitar, terutama yang memang sudah
memiliki langgam tertentu atau pun pada daerah yang dipugar; Penetapan panduan insentif bagi bangunan yang menerapkan karakter wujud bangunan tertentu yang secara spesifik memiliki nilai tambah yang ditetapkan, misalnya bangunan berkonsep arsitektur hijau, dan arsitektur tradisional.
Lingkungan
Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar, yaitu: Penciptaan karakter lingkungan yang tanggap dan integral dengan karakter eksisting struktur lingkungan; Keseimbangannya dengan daya dukung lingkungan, yaitu: Penetapan kepadatan gugusan bangunan/ kaveling/ blok dalam kawasan perencanaan yang mempertimbangkan daya dukung lingkungan, namun dapat memperkuat karakter kawasan; Kelestarian ekologis kawasan (Penetapan besaran komponen tata bangunan tertentu, misalnya konfigurasi kaveling dan orientasi bangunan) yang tanggap terhadap topografi dengan menetapkan minimum kepadatan dan ukuran kaveling yang dapat diakomodasi, serta meminimalkan perubahan ekstrim (cut‐fill); Pembatasan besaran pada kawasan khusus konservasi hijau; Pembatasan yang tanggap terhadap topografi dan kepentingan kelestarian lingkungan dengan meminimalkan penyebaran area terbangun dan perkerasan serta mengadaptasi tatanan kontur yang ada. Pemberdayaan kawasan: Peningkatan modifikasi desain/ pengembangan yang sesuai dengan
karakter lokal.

8. Simbol dan Penanda
Simbol dan tanda digunakan untuk petunjuk jalan, arah ke suatu kawasan tertentu pada jalan tol atau di jalan kawasan kota. Hal ini akan membuat kawasan tertentu dalam kota semakin membuat semarak atmosfir lingkungan kota tersebut. Tanda yang didesain dengan baik akan menyumbangkan karakter pada fasade bangunan, menghidupkan street space dan memberikan informasi bisnis.

9. Konsep Citra Kawasan
Menurut Lynch mengenai teori citra perotaan yang telah direkomendasikannya hanya memperhatikan skala makro dalam kota, tetapi kota/kawasan adalah sebuah rumah rumah yang besar dan rumah adalah kota yang kecil maka prinsip‐prinsip yang diungkapkan oleh teori ini juga dapat diterapkan pada pengembangan atau perencanaan sebuah kawasan.
a. Path ( Jalur )
Path (jalur) adalah elemen yang paling penting dalam sebuah kawasan menurut Kevin Lynch jika identitas elemen ini tidak jelas maka kebanyakan orang meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupkan rute‐rute sirkulasi yang biasanya digunakan orang untuk melakukan pergerakan secara umum, yakni jalan, gang‐gang, jalan transit, saluran, dan sebagainya. Path merupakan Identitas yang lebih baik kalau memiliki tujuan yang besar, serta pada penampakan yang kuat (misalnya fasad, pohon, dll), atau ada belokan yang jelas.
b. Edge ( Tepian )
Edge (tepian) adalah elemen linier yang tidak dipakai/tetapi dapat dilihat sebagai Path. Edge berada pada batas antara dua kawasan yang tertentu dan berfungsi sebagai pemutus yang linier seperti tembok, batasan antara rel kereta api dan topografi. Edge lebih bersifat sebagai sebuah referensi daripada elemen sumbu yang bersifat koordinasi atau Linkage.
c. District
District (kawasan) merupakan kawasan‐kawasan kota dalam skala dua dimensi. Sebuah kawasan District memiliki ciri khas yang sangat mirip bentuk pola dan wujudnya yang khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau memulainya. District dalam kota dapat dilihat dengan referensi interior maupun eksterior, district mempunyai identitas yang cukup baik jika batasnya dibentuk dengan jelas, dan dapat dilihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas seperti introver/ekstrover atau berdiri sendiri atau dikaitkan dengan yang lain.
d. Node (Simpul)
Node (simpul) merupakan simpul atau lingkaran daerah strategis dimana arah atau aktifitasnya saling bertemu dan dapat diubah kearah atau aktifitas lain, misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara keseluruhan, dalam skala makro ; pasar, taman, square, dan sebagainya Node adalah suatu tempat dimana orang mempunyai perasaan masuk dan keluar dalam tempat yang sama, Node mempunyai identitas yang lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (fungsi, bentuk)
e. Landmark (tangeran)
Landmark (tangeran) merupakan titik referensi seperti elemen Node, tetapi orang tidak masuk kedalamnya karena bisa dilihat dari luar letaknya. Landmark adalah elemen eksternal dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung, atau bukit, gedung tinggi, pohon tinggi, dan sebagainya. Beberapa landmark hanya mempunyai arti didaerah kecil dan dapat dilihat hanya didaerah itu, sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana‐mana. Landmark adalah elemen penting dari bentuk kota karena membantu orang untuk mengorientasikan diri didalam kota dan membantu orang mengenali suatu daerah. Landmark mempunyai identitas yang lebih baik jika bentuknya jelas dan unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masing‐masing.


TINJAUAN KEBIJAKAN PENATAAN RUANG KOTA PALU

2.1 Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Kota

2.1.1. Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota
Penataan ruang wilayah kota Palu bertujuan untuk :
a. Mewujudkan keterpaduan perencanaan tata ruang kota Palu dengan wilayah Provinsi dan nasional,
b. Mewujudkan keterpaduan pemanfaatan ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. Mewujudkan ruang wilayah kota yang aman, nyaman, sehat, produktif, dan berkelanjutan;
d. Mewujudkan keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
e. Mewujudkan keterpaduan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota dalam rangkaperlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang;
f. Mewujudkan pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat;
g. Mewujudkan keseimbangan dan keserasian kegiatan antar sektor

2.1.2. Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kota
Kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah kota meliputi kebijakan dan strategi pengembangan struktur ruang dan pola ruang.
(1) Kebijakan pengembangan struktur ruang meliputi:
a. peningkatan akses pelayanan perkotaan yang merata dan berhirarki; dan
b. peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumber daya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah kota.
(2) Strategi untuk peningkatan akses pelayanan perkotaan:
a. menjaga keterkaitan antar kawasan dalam kota serta antara kota dengan wilayah di sekitarnya;
b. mengembangkan pusat pelayanan baru di kawasan yang belum terlayani;
c. mengendalikan perkembangan kawasan bantaran pantai dan sungai; dan
d. mendorong pusat‐pusat pelayanan sebagai pusat –pusat pertumbuhan dalam kota agar lebih kompetitif dan lebih efektif dalam pengembangan kawasan di sekitarnya.
(3) Strategi untuk peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana meliputi:
a. Melengkapi dan meningkatkan prasarana pelabuhan Pantoloan sebagai Pelabuhan Internasional,
b. melengkapi dan meningkatkan prasarana Bandara Mutiara Palu sebagai pusat penyebaran sekunder,
c. Melengkapi dan meningkatkan prasarana pelabuhan Penyeberangan Taipa sebagai Pelabuhan Nasional,
d. Mempercepat pembangunan jalan lingkar luar kota serta meningkatkan kualitas dan sistim jaringan jalan dan prasarana pendukungnya guna mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi darat, laut, dan udara;
e. mendorong pengembangan prasarana telekomunikasi guna mendukung sistim telekomunikasi kota;
f. meningkatkan kapasitas pembangkit listrik yang ada dalam kota dan mempercepat perwujudan interkoneksi jaringan listrik berkapasitas besar dari sistem jaringan listrik Regional
g. mengendalikan pemanfaatan air tanah dalam, mendorong pelestarian sumber air permukaan serta mewujudkan kerja sama pemanfaatan sumber daya air dengan wilayah kabupaten yang berbatasan;
(4) Strategi untuk meningkatkan kualitas dan jangkauan pelayanan sistem prasarana pengelolaan
lingkungan wilayah kota :
a. Pembangunan sistem Jaringan Drainase kota secara berjenjang dan menerus serta terintegrasi dengan sistem drainase alamia kota
b. Normalisasi sungai dan alur sungai.
c. Meningkatkan pengelolaan sampah kota.
d. Pembangunan sistem jaringan air bersih yang terintegrasi guna menjangkau seluruh wilayah kota.
e. meningkatkan Pengelolaan limbah kota.

2.1.3. Kebijakan dan Strategi Pengembangan Pola Ruang
a. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan lindung;
(1) Kebijakan pengembangan kawasan lindung meliputi:
�� pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan
�� pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup.
(2) Strategi untuk pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup meliputi:
�� menetapkan kembali dan mengembangkan kawasan lindung di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi;
�� Menata kembali dan meningkatkan fungsi kawasan lindung yang telah menurun akibat pengembangan kegiatan budi daya, dalam rangka mewujudkan dan memeliharavkeseimbangan ekosistem wilayah.
(3) Strategi untuk pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup meliputi:
�� menyelenggarakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup;
�� melindungi kemampuan lingkungan hidup dari tekanan perubahan dan/atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan agar tetap mampu mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
�� melindungi kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang dibuang ke dalamnya;
�� mencegah terjadinya tindakan yang dapat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan perubahan sifat fisik lingkungan yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan;
�� mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana untuk menjamin kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
�� mengelola sumber daya alam tak terbarukan untuk menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan sumber daya alam yang terbarukan untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya; dan
�� menetapkan kawasan budidaya yang mempunyai fungsi sebagai kawasan evakuasi bencana alam.
b. Kebijakan dan strategi pengembangan kawasan budi daya;
(1) Kebijakan pengembangan kawasan budi daya meliputi:
�� perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan budi daya; dan
�� pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan.
(2) Strategi untuk perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budi daya meliputi:
�� menetapkan kawasan budi daya yang memiliki nilai strategis untuk pemanfaatan sumber daya alam di ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi secara sinergis untuk mewujudkan keseimbangan pemanfaatan ruang kota;
�� Menetapkan dan mengembangkan kegiatan budi daya unggulan beserta prasarana secara sinergis dan berkelanjutan untuk mendorong pengembangan perekonomian kota dan wilayah sekitarnya;
�� mengembangkan kegiatan budi daya untuk menunjang aspek politik, pertahanan dan keamanan, sosial budaya, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
�� menetapkan kembali dan melestarikan kawasan budi daya pertanian pangan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional;
�� mengembangkan kegiatan pemanfaatan teluk Palu dalam bentuk zonasi peruntukan guna mengatasi konflik pemanfaatan sumberdaya, serta untuk memandu pemanfaatan jangka panjang, pembangunan dan pengelolaan sumberdaya
(3) Strategi untuk pengendalian perkembangan kegiatan budi daya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan meliputi:
�� membatasi perkembangan kegiatan budi daya terbangun di kawasan rawan bencana untuk meminimalkan potensi kejadian bencana dan potensi kerugian akibat bencana;
�� mengembangkan ruang terbuka hijau dengan luas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dariluas kawasan perkotaa
Sumber : Pemerintah Kota Palu Bappeda

c. kebijakan dan strategi pengembangan kawasan strategis kota.
(1) Kebijakan pengembangan kawasan strategis kota meliputi:
�� pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup untuk mempertahankan dan meningkatkan keseimbangan ekosistem, melestarikan keanekaragaman hayati, mempertahankan dan meningkatkan fungsi perlindungan kawasan, melestarikan keunikan bentang alam, dan melestarikan warisan budaya lokal;
�� pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian lokal yang produktif, efisien, dan mampu bersaing dalam perekonomian nasional;
�� pengembangan kawasan tertinggal untuk mengurangi kesenjangan tingkat perkembangan antar kawasan dalam kota
(2) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan fungsi dan daya dukung lingkungan hidup meliputi:
�� menetapkan kawasan strategis kota yang berfungsi lindung;
�� mencegah pemanfaatan ruang di kawasan strategis kota yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
�� membatasi pemanfaatan ruang di sekitar kawasan strategis kota yang berpotensi mengurangi fungsi lindung kawasan;
�� membatasi pengembangan prasarana dan sarana di dalam dan di sekitar kawasan strategis kota yang dapat memicu perkembangan kegiatan budi daya;
�� mengembangkan kegiatan budi daya tidak terbangun di sekitar kawasan strategis kota yang berfungsi sebagai zona penyangga yang memisahkan kawasan lindung dengan kawasan budi daya terbangun; dan
�� merehabilitasi fungsi lindung kawasan yang menurun akibat dampak pemanfaatan ruang yang berkembang di dalam dan di sekitar kawasan strategis kota.
(3) Strategi untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian lokal kota meliputi:
�� mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan perekonomian kota;
�� menciptakan iklim investasi yang kondusif;
�� mengelola pemanfaatan sumber daya alam agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung kawasan;
�� mengelola dampak negatif kegiatan budi daya agar tidak menurunkan kualitas lingkungan hidup dan efisiensi kawasan;
�� mengintensifkan promosi peluang investasi; dan
�� meningkatkan pelayanan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi.
(4) Strategi untuk pelestarian dan peningkatan sosial dan budaya bangsa meliputi:
�� meningkatkan kecintaan masyarakat akan nilai budaya yang mencerminkan jati diri bangsa yang berbudi    luhur;
�� mengembangkan penerapan nilai budaya bangsa dalam kehidupan masyarakat; dan
�� melestarikan situs warisan budaya bangsa.
(5) Strategi untuk pengembangan kawasan tertinggal meliputi:
�� memanfaatkan sumber daya alam secara optimal dan berkelanjutan;
�� membuka akses dan meningkatkan aksesibilitas antara kawasan tertinggal dan pusat kegiatan kota;
�� mengembangkan prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi masyarakat;
�� meningkatkan akses masyarakat ke sumber pembiayaan;dan
�� meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan kegiatan ekonomi.
2.2. Kebijakan Penataan Ruang berdasarkan RTRW Kota Palu

2.2.1. Kependudukan
A. Proyeksi Pertumbuhan Penduduk
Hasil proyeksi penduduk Kota Palu pada tahun berdasarkan data penduduk tahun 2003 sampai dengan tahun 2009, menunjukkan bahwa pada tahun 2009 berjumlah 309.032 jiwa, dan mengalami peningkatan setiap tahunnya, pada tahun 2014 jumlah penduduk Kota Palu 337.035 jiwa, tahun 2019 menjadi 367.576 jiwa dan pada tahun 2024 berjumlah 400.885 jiwa, sedang pada akhir tahun perencanaan yaitu 2029 jumlah penduduk Kota Palu mencapai 437.212 jiwa. Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah dan pertumbuhan penduduk Kota Palu dapat dilihat pada tabel berikut ini :






B. Proyeksi Kepadatan Penduduk
Berdasarkan hasil proyeksi penduduk, tingkat kepadatan penduduk Kota Palu pada tahun 2029 adalah 11 jiwa per‐ha, sebagaimana diperlihatkan dalam tabel berikut ini :






2.2.2. Rencana Pemanfaatan Ruang Kota
A. Rencana Stuktur Ruang Kota

Rencana Struktur Ruang Kota Palu ditujukan untuk merumuskan gambaran struktur ruang yang dikehendaki untuk dicapai pada akhir tahun rencana, yang mencakup struktur ruang yang ada dan yang akan dikembangkan, Rencana struktur ruang wilayah Kota Palu akan meliputi:
a. Rencana pengembangan pusat kegiatan Kota Palu (Pusat Utama Kegiatan, Sub Pusat Utama Kegiatan dan Pusat Lingkungan);
b. Rencana sistem jaringan transportasi kota;
c. Rencana sistem jaringan energi ;
d. Rencana sistem jaringan telekomunikasi ; dan
e. Rencana sistem jaringan sumber daya air.
B. Rencana Hirarki Struktur Kegiatan Kota Palu
Secara teoritis efisiensi pusat pelayanan dapat dicapai apabila disusun berhirarki sesuai dengan jangkauan pelayanan masing‐masing pusat kegiatan. Hirarki yang terbentuk direncanakan berdasarkan skala kegiatan jangkauan pusat pelayanan yang telah ada saat ini, serta perkiraan kebutuhan pembentukan pusat kegiatan baru pada pusat‐pusat pengembangan baru sebagai daya tarik pengembangan pada masa yang akan datang, yakni guna mendukung terbentuknya kerangka dasar kota yang teratur. Selain itu pola penyebaran kegiatan perdagangan kota yang cenderung linear perlu diatur sedemikian rupa sehingga membentuk konfigurasi memusat sehingga dengan demikian mendorong terbentuknya pusat‐pusat kegiatan yang berbentuk blok‐blok
pengembangan pada simpul‐simpul pengembangan berhirarki. Berdasarkan morfologi fisik kota dan kecenderungan perkembangan kegiatan yang mengarah pada terbentuknya pusat‐pusat kegiatan saat ini maka direncanakan struktur kegiatan kota Palu pada masa yang akan datang akan terdiri dari:
1. Pusat Utama Kegiatan ( PUK), yakni:
a. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan perkotaan skala kota atau wilayah yang lebih luas.
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa skala kota atau wilayah yang lebih luas.
2. Sub Pusat Utama Kegiatan (SPUK), yakni:
a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan perkotaan yang mendukung Pusat Utama Kegiatan (PUK).
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kegiatan perdagangan dan jasa yang melayani beberapa kecamatan dan skala kota yang mendukung Pusat Utama Kegiatan (PUK).
3. Pusat Lingkungan (PL), yakni:
a. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kegiatan perkotaan skala kecamatan yang mendukung Sub Pusat Utama Kegiatan (SPUK).
b. kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kegiatan perdagangan dan jasa skala kecamatan yang mendukung sub Pusat Utama Kegiatan (SPUK).
Secara skematis rencana hirarkis struktur pusat kegiatan dimaksud sebagaimana disajikan pada Gambar berikut:.






Selanjutnya berdasarkan standar infrastruktur minimal yang perlu dilengkapi untuk masingmasing pusat kegiatan sesuai dengan hirarkinya maka direncanakankebutuhan sarana dan prasarana pendukung sebagai berikut:
Pusat Utama Kegiatan Perkotaan Skala Kota meliputi :
a. Perhubungan : Terminal Angkutan Perkotaan.
b. Ekonomi : Perbankan Nasional dan/atau internasional, pusat grosir skala kota dan/atau wilayah yang lebih luas, pusat perdagangan eceran skala kota dan/atau wilayah yang lebih  luas, perkantoran niaga skala kota dan/atau wilayah yang lebih luas, pasar tradisional yang melayani skala kota atau wilayah yang lebih luas, hotel berbintang.
c. Ruang Kegiatan Sektor Informal.
Sub Pusat Utama Kegiatan Perkotaan Skala Kota meliputi :
a. Perhubungan : Sub Terminal Angkutan Perkotaan dan/atau terminal angkutan perdesaan.
b. Ekonomi : Perbankan skala kecamatan atau kota, pusat perdagangan eceran skala kecamatan atau kota, pasar tradisional yang melayani skala kecamatan atau kota, Penginapan melati dan atau hotel berbintang.
c. Ruang Kegiatan Sektor Informal.
Pusat Lingkungan meliputi:
a. Perhubungan : Halte Angkutan Perkotaan/terminal angkutan perdesaan.
b. Ekonomi : Perbankan skala kecamatan, perdagangan eceran skala kecamatan, pasar tradisional yang melayani skala kecamatan, Penginapan melati.
c. Ruang Kegiatan Sektor Informal.
Untuk lebih jelasnya mengenai pengembangan struktur ruang Kota Palu dapat dilihat pada Peta dan Tabel Berikut ini :












2.3. Rencana Pengembangan dan Kriteria Sistem Jaringan Transportasi
Sistem jaringan transportasi kota meliputi :
a. Jaringan Jalan kota yang terdiri dari Jaringan Jalan Arteri Primer, Jalan Arteri Sekunder, Jaringan Jalan Kolektor Primer, Kolektor Sekunder, Jalan Lokal dan Jalan Bebas Hambatan
b. Terminal Penumpang
c. Sistem Jaringan Transportasi Penyeberangan
d. Sistem Jaringan Transportasi Laut
e. Sistem Jaringan Transportasi Udara
Lebih jelasnya mengenai rencana Sistim Transportasi Kota Palu dapat dilihat pada uraian berikut ini



sedangkan sistim jaringan transportasi yang direncanakan dapat dilihat pada


2.3.1. Jaringan Jalan Kota
A. Sistem Primer

Sistem primer merupakan tipikal pergerakan antar wilayah dengan struktur setara, Sistem primer dilayani oleh jaringan jalan primer berfungsi menghubungkan pergerakan yang berasal dan dari Palu sebagai ibukota Propinsi (PKN) dengan Kota atau Kabupaten hinterland (PKW) seperti Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala, selain itu sistem primer juga berfungsi untuk menghubungkan pusat utama kegiatan dan sub pusat utama kegiatan serta pusat utama kegiatan dan simpul transportasi seperti bandara Mutiara Palu, pelabuhan Pantoloan , Pelabuhan Taipa dan terminal bus Mamboro.
Rangkaian jaringan sistem primer ini membentuk suatu jaringan pergerakan (atau jaringan jalan) yang fungsi utamanya menyalurkan pergerakan cepat, jauh dan berat. Begitu juga sistem ini diarahkan untuk menunjang pola pergerakan lintas wilayah seperti pergerakan barang. Rencana jaringan jalan primer di Kota Palu sampai tahun 2029 diarahkan untuk:
a. Menunjang percepatan pertumbuhan ekonomi Kota Palu melalui kemudahan aksesibilitas antar wilayah di pulau Sulawesi,
b. Menunjang program‐program politik terpadu nasionai melalui penyediaan prasarana jaringan jalan dan sistem transportasi yang akomodatif terhadap masalah keamanan dan keselamatan negara
c. Menjamin kelancaran perpindahan orang dan barang dari dan ke Palu,
d. Menjamin kelancaran distribusi bahan baku ke sentra‐sentra industri dan pengolahan.
Jaringan arteri primer ditetapkan dengan kriteria :
a. merupakan terusan jalan yang menghubungkan antar‐PKN, antara PKN dan PKW, dan/atau PKN/PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional yang melalui pusat utama kegiatan (PUK) dan sub pusat utama kegiatan SPUK) dalam kota Palu.
b. berupa jalan umum yang melayani angkutan utama;
c. melayani perjalanan jarak jauh;
d. memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan ratarata tinggi; dan
e. membatasi jumlah jalan masuk secara berdaya guna.
Jaringan kolektor primer ditetapkan dengan kriteria:
a. Merupakan jalan yang menghubungkan antara Pusat Utama Kegiatan (PUK) Sub Pusat utama Kegiatran (SPUK), dan Pusat Lingkungan (PL).
b. berupa jalan umum yang berfungsi melayani rute angkutan kota;
c. melayani perjalanan dalam kota;
B. Sistem Sekunder
Sistem sekunder merupakan tipikal pergerakan antar sub pusat kegiatan dan pusat lingkungan. Sistem sekunder dilayani jaringan jalan yang berfungsi menghubungkan kawasan‐kawasan non permukiman seperti perdagangan, industri, wisata, perkebunan, peternakan dan sebagainya. Rangkaian Sistem sekunder ini membentuk suatu jaringan pergerakan (atau jaringan jalan) yang fungsi utamanya menyalurkan pergerakan jarak sedang dengan kecepatan sedang. Rencana sistem sekunder di Palu sampai tahun 2029 diarahkan untuk;
a) Menunjang percepatan pertumbuhan ekonomi Kota Palu melalui kemudahan aksesibilitas
antar kawasan pengembangan utama,
b) Menunjang pelaksanaan program‐program pembangunan wilayah melalui penyediaan prasarana jaringan jalan dan sistem transportasi yang akomodatif terhadap masalah keamanan wilayah,
c) Menjamin kelancaran perpindahan orang dan barang antar kecamatan di dalam wilayah Kota Palu,
d) Menjamin tersalurkannya kebutuhan barang dari industri ke kawasan komersial.
Sistem sekunder di Kota Palu harus direncanakan dengan kriteria sebagai berikut;
a) Dilayani oleh jalan dengan klasifikasi arteri sekunder atau kolektor primer,
b) Kelas jalan sekurang‐kurangnya II B,
c) Dilewati angkutan barang sedang,
d) Dilewati angkutan umum antar kawasan pengembangan,
e) Mempunyai lebar jalur minimal 2 lajur dan difungsikan dua arah
f) Memiliki kebebasan samping minimal 10 m.
Jaringan jalan arteri sekunder kota ditetapkan dengan kriteria:
a. merupakan terusan jalan yang menghubungkan antar‐PKN, antara PKN dan PKW, dan/atau PKN/PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/nasional.
b. berupa jalan umum yang melayani angkutan utama;
c. melayani perjalanan jarak jauh;
d. memungkinkan untuk lalu lintas dengan kecepatan rata‐rata tinggi; dan
e. membatasi jumlah jalan masuk secara berdaya guna.
Jaringan jalan kolektor sekunder ditetapkan dengan kriteria:
a. Merupakan jalan yang menghubungkan antara Sub Pusat utama Kegiatran (SPUK) dengan Pusat Lingkungan (PL).
b. berupa jalan umum yang berfungsi melayani rute angkutan kota;
c. melayani perjalanan dalam kota;
Jaringan jalan lokal ditetapkan dengan kriteria:
a. Merupakan jalan yang menghubungkan antar permukiman
b. berupa jalan umum yang berfungsi melayani pergerakan antar permukiman;

Pada Peta dan Tabel berikut disajikan rencana sistem jaringan dan fungsi jalan di Kota Palu sampai dengan tahun 2029, yang termasuk dalam Kawasan Studi dalam kegiatan PLP‐BK Kelurahan Donggala Kodi.










2.4. Rencana Pengembangan dan Kriteria Pemanfataan Lahan
Maksud
Untuk mewujudkan peningkatan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat Kecamatan Palu Barat sesuai dengan visi dan misi Kecamatan Palu Barat sebagai pusat perdagangan dan jasa industri pariwisata serta budaya dalam lingkungan masyarakat yang agamis sejahtera lahir dan batin.
Tujuan
Tujuan RDTRK Kecamatan Palu Barat pada hakekatnya merupakan penjabaran dari tujuan yang termaktub dalam Kepmen Kimpraswil No. 327/KPTS/M/2002, adalah supaya kehidupan dan penghidupan warga kota aman, tertib, lancar dan sehat melalui
a. Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertumbuhan dan perkembangan Kecamatan Palu Barat.
b. Menciptakan pola tata ruang yang serasi dan optimal serta penyebaran fasilitas dan utilitas secara tepat tanpa mengabaikan kualitas lingkungan.
c. Menyusun program‐program pembangunan Kecamatan Palu Barat sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu 2006‐2025 sampai dengan 20 tahun yang akan datang.
Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari penyusunan RDTRK Kecamatan Palu Barat adalah sebagai tindakan atau dasar yang lebih konkrit yang akan dijabarkan dalam perencanaan tata ruang kota yang mampu :
a. Menggambarkan tata ruang sesuai dengan fungsi kota secara keseluruhan dan fungsi tiap‐tiap zona pengembangan.
b. Memberikan kejelasan sebaran ruang pola tata guna lahan yang berhasil guna, tepat guna dan
optimal dengan kedalaman tata guna lahan pada tiap‐tiap zona pengembangan.
c. Menggariskan pola ruang tata guna lahan dengan peruntukan penggunaan secara luwes untuk memungkinkan program pembangunan kota dengan perkembangan yang terjadi di kemudian hari sesuai dengan dinamika masyarakat.
d. Mengarahkan penentuan zona peruntukan lahan dan pengembangan fasilitas pada tiap zona pengembangan.
e. Mengarahkan daya tampung atau daya dukung penduduk baik dalam lingkup kota secara keseluruhan maupun zona pengembangan.
f. Memberikan usaha pemecahan konsep sistem perangkutan yang tepat guna dan berhasil guna sesuai dengan kecenderungan asal dan fungsi penyebaran penduduk, penyebaran kegiatan fungsional kota dan bagian wilayah kota serta potensi latar belakang sosial dan ekonomi penduduk yang mempunyai wilayah pantai.
g. Mengembangkan pemanfaatan dan pengembangan lahan yang sedemikian rupa sehingga di kelak kemudian hari ketegangan‐ketegangan sosial dibatasi sekecil mungkin.
h. Menentukan daerah‐daerah yang tidak dikembangkan untuk kegiatan perkotaan dengan alasan pelestarian alam, daerah gangguan alam, kawasan lindung, dan kawasan fungsi lindung.
i. Memberikan pengarahan dalam rangka usaha peningkatan kemampuan ekonomi dan sosial dalam setiap sektor perkotaan yang akan dikembangkan.
j. Mengarahkan lokasi bagi pengembangan daerah perumahan sesuai dengan pendapatan masyarakat, baik dalam pembangunan perumahan baru, maupun peningkatan dan perbaikan lingkungan perumahan yang ada.
k. Mempertimbangkan mengenai penentuan lokasi fungsional kota baru yang tidak akan menimbulkan gangguan atau pencemaran pada lokasi hunian atau tidak mengganggu kegiatan lain.
l. Mengarahkan intensitas kegiatan dan penggunaan lahan.
m.Menjadi pedoman pengarahan rencana tata bangunan bersifat geometris, seperti Garis Sempadan Bangunan (GSB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB).
n. Mempertimbangkan aspek‐aspek pengelolaan pembangunan kota, seperti : aspek administrasi,
hukum, sumber dana, indikasi program dan tahapan prioritas.

Rencana Struktur Ruang Kecamatan Palu Barat Berdasarkan RTRW Kota Palu 2006‐2025
Struktur ruang wilayah Kota Palu diarahkan tetap dipertahankan, namun untuk membentuk perkembangan fisik kota dalam satu rangkaian melingkar direncanakan jalan‐jalan utama baru dengan kelas jalan kolektor dan jalan arteri yang dapat menghubungkan seluruh bagian wilayah kota, berupa jaringan jalan lingkar dalam dan jaringan jalan lingkar luar (jalan arteri). Secara langsung ataupun tidak langsung, keberadaan jaringan jalan tersebut menjadi instrumen pengikat untuk mempertahankan bentuk struktur (structure pattern) tata ruang Kota Palu, di samping itu berfungsi juga mengurangi beban jalan pusat kota yang makin padat, karena kendaraan menerus ke wilayah luar kota tidak akan melintasi kota (melalui jalan lingkar luar).
Terkait dengan struktur ruang Kota Palu, Kecamatan Palu Barat sendiri berdasarkan rencana struktur tata ruang Kota Palu Tahun 2006 di antaranya adalah sebagian kawasan pusat perdagangan skala regional yaitu pada Kelurahan Ujuna, Siranindi dan Kamonji. Kecamatan Palu Barat khususnya pada ketiga kelurahan tersebut merupakan cikal bakal Kota Palu, sehingga mengingat peran sejarah yang begitu besar dalam perkembangan Kota Palu, dalam rangka pengembangan Kecamatan Palu Barat peran kawasan sebagai pusat perdagangan tetap dipertahankan dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan kota.
Selain mempertahankan fungsi perdagangan, dengan melihat potensi yang ada di Kecamatan Palu Barat maka pengembangan struktur ruang Kecamatan Palu Barat juga diarahkan untuk pengembangan fungsi pendidikan tinggi (Kelurahan Lere), Fungsi Pariwisata (sepanjang pantai Teluk Palu) dengan konsep wisata bahari serta pengembangan fungsi permukiman (tipe rumah tunggal menyebar di seluruh kelurahan dan tipe rusun di Kelurahan Ujuna) dan fungsi lindung di Kelurahan Buluri dan Watusampu. Secara skematis pola struktur ruang Kecamatan Palu Barat dapat dilihat pada gambar berikut.